Aku selalu bertanya kenapa harus ada peribahasa nila setitik rusak
susu sebelanga? Karena kesalahan sedikit, rusaklah semua kebaikannya. Padahal
kan belum tentu nila yang setitik itu bisa menggantikan/membandingi susu
sebelanga. Ketika seseorang sudah banyak berbuat baik, dan melakukan sedikit
saja kesalahan lalu kebaikannya menguap
begitu saja tak berbekas sedikit pun. Padahal bisa saja ketika orang itu
melakukan nila yang setitik dia sedang benar-benar dalam keadaan khilaf.
Aku mengungkapkan hal ini karena aku sendiri mengalaminya. Ketika
bertemu dengan teman sekamar baruku, kita langsung bercerita mengenai banyak
hal, termasuk diri pribadi bahkan suku. Dia mengatakan bahwa dari kabar yang
beredar, orang sunda (suku ku) itu terkenal pelit,malas dan suka dandan (buat
cewe sunda). Aku tidak marah dan tidak menyalahkannya atas hal itu. Aku
menghargai kejujurannya dan sikapnya yang langsung bertanya padaku untuk
memastikannya. Aku bilang tidak semuanya sepertiitu, mungkin itu penilaian yang
sudah umum, tapi semua itu relative dan tergantung pada individunya
masing-masing. Untuk membuktikan benar/tidaknya, silahkan menilai diriku yang
cewe sunda tapi secara objektif, jangan hanya berdasarkan penilaian yang sudah
umum itu. Dia pun setuju.
Selama hidup bersama dengannya aku merasa cukup nyaman dan cukup
nyambung. Kita sudah lumayan dekat dalam waktu yang lumayan singkat. Kita
saling berbagi cerita, pengalaman bahkan makanan. Kita suka makan bersama,
mengaji bersama, senam bersama bahkan nguras bersama. Kita saling mengingatkan
jika ada salah, saling mentraktir jika ada yang mendapatkan rejeki, saling
mengantar jika ada keperluan dan hal-hal lainnya.
Suatu saat,ketika aku pulang, aku membawakannya tahu pedas.
Masing-masing 2 untukku dan untuknya. Dia mengatakan bahwa donat dan tahunya
enak buaanget. Aku merasa senang. Kita menikmati makanan bersama dalam keadaan
suka cita sampai akhirnya dia meminta jatah tahuku yang satunya lagi. Secara
spontan aku mengatakan “JANGAAAN, kan kamu udah makan 2 tadi, ini jatahku, kita
makan sama 2-2!” padahal dia sudah mau memakannya. Dia langsung marah dan
menaruh tahunya kembali. Lalu aku jelaskan bahwa aku sangat menginginkan tahu
itu. Aku memang sudah ngidam tahu itu dari sebulan yang lalu ketika aku masih
berada di kampung halamanku, dan baru kali ini aku ada kesempatan untuk
membelinya. Terdengar agak lebay memang, tapi begitulah aku jika sudah ngidam
sesuatu. Tahu pedas itu memang lain dari pada yang lain. Meskipun harganya
hanya seribu, tapi pedasnya pas untukku yang tidak terlalu suka pedas. Tahunya
dari tahu coklat sumedang yang ukurannya sedang, bukan tahu kuning seperti tahu jeletot pada umumnya, dan isinya
bihun campur wortel, bukan kol dan wortel. Aku hanya menjumpai satu saja yang seperti itu, yaitu di dekat
kampusku yang jaraknya 1,5 jam dari kosanku sekarang, dan tahu itu bukanya
hanya siang, kalau sore sudah keburu habis. Untuk membelinya terkadang harus
antri ketika tahunya masih digoreng. Sebenarnya aku membeli dan membawanya ke
kosan karena waktu itu aku sedang puasa, tidak mungkin kan, aku membelinya di
siang hari dan langsung memakannya. Makanya aku begitu menantikan saat ketika
memakan tahu itu. Seandainya bukan tahu itu yang dia minta, aku tidak akan
dengan spontan mengatakan “JANGAN”. Ketika melihat ekspresi wajahnya berubah,
aku menyesali perkataanku. Mungkin tidak seharusnya aku mengatakan hal itu,
mungkin aku bisa menolaknya dengan cara yang lebih baik. Tapi toh semua sudah
terjadi. Aku sendiri pun tidak menyangka aku akan mengatakan hal seperti itu,
tidak biasa.
Ketika itu aku mengatakan pada temanku, “yang ini kita bagi dua saja
ya” lalu aku memotongnya menjadi dua dan aku memakan sepotong tahu itu. Tapi
dia tidak mau, “tidak usah, kamu pengen banget tahu itu kan, itu memang jatah
kamu” dengan ekspresi dan mimic muka yang tidak mengenakkan. Aku bilang, “ya
memang, tapi kalau kamu mau ya tidak apa-apa, kita bagi dua, aku ridho ko”. Aku
pun menyimpan tahu itu di dekatnya, dan ternyata sampai keesokan harinya tahu
itu tidak disentuh olehnya sama sekali.
Huft, sepertinya dia benar-benar marah, pikirku. Aku pun memakan tahu
yang sudah berumur sehari itu. Meskipun rasanya tidak semantap kemarin, tapi
tetap aku makan daripada mubadzir.
Selepas kejadian itu, aku pikir semuanya baik-baik saja, kita
beraktivitas seperti biasa. Namun setelah kuperhatikan , ada yang tidak biasa
dengannya, dan aku menyadarinya ketika kita makan bersama seperti biasa. Ketika
itu kita makan dengan menu yang sama, sama-sama pake sambel. Kita sama-sama tau
kalau aku tidak begitu suka pedas, dan dia sangat suka pedas. Dia makannya
cepat, dan aku makannya sedikit pelan. Tanpa kusadari dia sudah hampir
menghabiskan makanannya. Dan punyaku masih lumayan banyak, termasuk sambelnya.
Aku menawarinya, “sambelnya masih banyak, kamu mau?”, di jawab, “yah telat,
kenapa ga nawarin daritadi”. Aku bilang, “kenapa kamu ga minta? Kan tau klo aku
kurang suka pedes”. Dia bilang, “gak ah, nanti kamu marah lagi, ga mau aku
minta, kayak tahu waktu itu”. Sebenarnya dalam hati aku mengucap istigfar,’Ya
alloh, dia masih inget aja kejadian waktu itu’. Dia bilang memang dari mulai
saat itu dia ga kan minta-minta lagi, usahakan memakan punya nya sendiri
dulu. Memang bagus juga sih, tapi kan ga
kaya gitu juga kali. Yaah, sekali lagi aku berpikir,’mungkin memang salahku tidak
menawarinya dari awal’.
Belajar dari kesalahan, jika aku makan aku selalu menawarinya terlebih
dahulu. Padahal kalau dulu tanpa ditawari pun kalau memang mau biasanya juga
suka minta. Tapi sekarang sudah berbeda. Dan walaupun aku sudah melakukan hal
itu, dia masih saja mengungkit kejadian waktu itu. Pernah suatu ketika, di
tengah-tengah percakapan, dia bilang, “ …iya, yang waktu itu kita pergi makan,
dan kamu marah-marah…”. Aku hanya diam saja, dan hanya bisa berpikir ‘nila
setitik sudah merusak susu sebelanga’.
Jadi, berhati-hatilah
dalam bertindak dan berucap, sekalipun terhadap orang yang sudah kita anggap
sangat dekat. Peribahasa ‘nila setitik rusak susu sebelanga’pun bisa berlaku
untuk urusan kepercayaan. Jika seseorang sudah mempercayai kita, maka jangan
sekali-kali untuk mengkhianatinya. Karena sekalinya kepercayaan itu rusak, akan
sulit untuk mendapatkannya kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar