Sabtu, 18 Januari 2014

Gara-gara tahu pedas sebiji, rusak susu sebelanga


Aku selalu bertanya kenapa harus ada peribahasa nila setitik rusak susu sebelanga? Karena kesalahan sedikit, rusaklah semua kebaikannya. Padahal kan belum tentu nila yang setitik itu bisa menggantikan/membandingi susu sebelanga. Ketika seseorang sudah banyak berbuat baik, dan melakukan sedikit saja kesalahan  lalu kebaikannya menguap begitu saja tak berbekas sedikit pun. Padahal bisa saja ketika orang itu melakukan nila yang setitik dia sedang benar-benar dalam keadaan khilaf.

Aku mengungkapkan hal ini karena aku sendiri mengalaminya. Ketika bertemu dengan teman sekamar baruku, kita langsung bercerita mengenai banyak hal, termasuk diri pribadi bahkan suku. Dia mengatakan bahwa dari kabar yang beredar, orang sunda (suku ku) itu terkenal pelit,malas dan suka dandan (buat cewe sunda). Aku tidak marah dan tidak menyalahkannya atas hal itu. Aku menghargai kejujurannya dan sikapnya yang langsung bertanya padaku untuk memastikannya. Aku bilang tidak semuanya sepertiitu, mungkin itu penilaian yang sudah umum, tapi semua itu relative dan tergantung pada individunya masing-masing. Untuk membuktikan benar/tidaknya, silahkan menilai diriku yang cewe sunda tapi secara objektif, jangan hanya berdasarkan penilaian yang sudah umum itu. Dia pun setuju.

Selama hidup bersama dengannya aku merasa cukup nyaman dan cukup nyambung. Kita sudah lumayan dekat dalam waktu yang lumayan singkat. Kita saling berbagi cerita, pengalaman bahkan makanan. Kita suka makan bersama, mengaji bersama, senam bersama bahkan nguras bersama. Kita saling mengingatkan jika ada salah, saling mentraktir jika ada yang mendapatkan rejeki, saling mengantar jika ada keperluan dan hal-hal lainnya.

Suatu saat,ketika aku pulang, aku membawakannya tahu pedas. Masing-masing 2 untukku dan untuknya. Dia mengatakan bahwa donat dan tahunya enak buaanget. Aku merasa senang. Kita menikmati makanan bersama dalam keadaan suka cita sampai akhirnya dia meminta jatah tahuku yang satunya lagi. Secara spontan aku mengatakan “JANGAAAN, kan kamu udah makan 2 tadi, ini jatahku, kita makan sama 2-2!” padahal dia sudah mau memakannya. Dia langsung marah dan menaruh tahunya kembali. Lalu aku jelaskan bahwa aku sangat menginginkan tahu itu. Aku memang sudah ngidam tahu itu dari sebulan yang lalu ketika aku masih berada di kampung halamanku, dan baru kali ini aku ada kesempatan untuk membelinya. Terdengar agak lebay memang, tapi begitulah aku jika sudah ngidam sesuatu. Tahu pedas itu memang lain dari pada yang lain. Meskipun harganya hanya seribu, tapi pedasnya pas untukku yang tidak terlalu suka pedas. Tahunya dari tahu coklat sumedang yang ukurannya sedang, bukan tahu kuning  seperti tahu jeletot pada umumnya, dan isinya bihun campur wortel, bukan kol dan wortel. Aku hanya menjumpai satu  saja yang seperti itu, yaitu di dekat kampusku yang jaraknya 1,5 jam dari kosanku sekarang, dan tahu itu bukanya hanya siang, kalau sore sudah keburu habis. Untuk membelinya terkadang harus antri ketika tahunya masih digoreng. Sebenarnya aku membeli dan membawanya ke kosan karena waktu itu aku sedang puasa, tidak mungkin kan, aku membelinya di siang hari dan langsung memakannya. Makanya aku begitu menantikan saat ketika memakan tahu itu. Seandainya bukan tahu itu yang dia minta, aku tidak akan dengan spontan mengatakan “JANGAN”. Ketika melihat ekspresi wajahnya berubah, aku menyesali perkataanku. Mungkin tidak seharusnya aku mengatakan hal itu, mungkin aku bisa menolaknya dengan cara yang lebih baik. Tapi toh semua sudah terjadi. Aku sendiri pun tidak menyangka aku akan mengatakan hal seperti itu, tidak biasa.

Ketika itu aku mengatakan pada temanku, “yang ini kita bagi dua saja ya” lalu aku memotongnya menjadi dua dan aku memakan sepotong tahu itu. Tapi dia tidak mau, “tidak usah, kamu pengen banget tahu itu kan, itu memang jatah kamu” dengan ekspresi dan mimic muka yang tidak mengenakkan. Aku bilang, “ya memang, tapi kalau kamu mau ya tidak apa-apa, kita bagi dua, aku ridho ko”. Aku pun menyimpan tahu itu di dekatnya, dan ternyata sampai keesokan harinya tahu itu tidak disentuh olehnya sama sekali.  Huft, sepertinya dia benar-benar marah, pikirku. Aku pun memakan tahu yang sudah berumur sehari itu. Meskipun rasanya tidak semantap kemarin, tapi tetap aku makan daripada mubadzir.

Selepas kejadian itu, aku pikir semuanya baik-baik saja, kita beraktivitas seperti biasa. Namun setelah kuperhatikan , ada yang tidak biasa dengannya, dan aku menyadarinya ketika kita makan bersama seperti biasa. Ketika itu kita makan dengan menu yang sama, sama-sama pake sambel. Kita sama-sama tau kalau aku tidak begitu suka pedas, dan dia sangat suka pedas. Dia makannya cepat, dan aku makannya sedikit pelan. Tanpa kusadari dia sudah hampir menghabiskan makanannya. Dan punyaku masih lumayan banyak, termasuk sambelnya. Aku menawarinya, “sambelnya masih banyak, kamu mau?”, di jawab, “yah telat, kenapa ga nawarin daritadi”. Aku bilang, “kenapa kamu ga minta? Kan tau klo aku kurang suka pedes”. Dia bilang, “gak ah, nanti kamu marah lagi, ga mau aku minta, kayak tahu waktu itu”. Sebenarnya dalam hati aku mengucap istigfar,’Ya alloh, dia masih inget aja kejadian waktu itu’. Dia bilang memang dari mulai saat itu dia ga kan minta-minta lagi, usahakan memakan punya nya sendiri dulu.  Memang bagus juga sih, tapi kan ga kaya gitu juga kali. Yaah, sekali lagi aku berpikir,’mungkin memang salahku tidak menawarinya dari awal’.

Belajar dari kesalahan, jika aku makan aku selalu menawarinya terlebih dahulu. Padahal kalau dulu tanpa ditawari pun kalau memang mau biasanya juga suka minta. Tapi sekarang sudah berbeda. Dan walaupun aku sudah melakukan hal itu, dia masih saja mengungkit kejadian waktu itu. Pernah suatu ketika, di tengah-tengah percakapan, dia bilang, “ …iya, yang waktu itu kita pergi makan, dan kamu marah-marah…”. Aku hanya diam saja, dan hanya bisa berpikir ‘nila setitik sudah merusak susu sebelanga’.


Jadi, berhati-hatilah dalam bertindak dan berucap, sekalipun terhadap orang yang sudah kita anggap sangat dekat. Peribahasa ‘nila setitik rusak susu sebelanga’pun bisa berlaku untuk urusan kepercayaan. Jika seseorang sudah mempercayai kita, maka jangan sekali-kali untuk mengkhianatinya. Karena sekalinya kepercayaan itu rusak, akan sulit untuk mendapatkannya kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar